Tak semua orang, bahkan yang sudah ahli sekali pun, mampu mengawali aktivitas menulis dengan mudah. Suasana hati dan lingkungan sering kali berpengaruh, terutama bagi penulis yang cenderung dikendalikan mood.
Namun, kini paling tidak ada teknologi text editor terutama berbasis open source yang berupaya memahami kebutuhan mood tersebut. Coba tengok aplikasi CreaWriter 1.0.
CreaWriter merupakan suatu aplikasi text editor yang dibuat untuk memberikan kenyamanan dalam kegiatan menulis. Hal ini dihadirkan lewat berbagai fitur, yakni background alam, serta audio yang mendukung. Bahkan, fitur-fitur itu dapat di-setting sesuai kebutuhan pengguna.
Sebagai contoh, anda termasuk pribadi yang gemar dengan pemandangan alam sebagai stimulus mendapat inspirasi, CreaWrite menyediakannya pada fitur configurasi. Pada fitur ini, anda cukup mengklik background lalu folder yang tersedia diisikan file berformat jpg dengan tampilan pemandangan.
Prosesnya mirip seperti anda mengisi gambar background untuk desktop komputer anda. Selain itu, warna latar juga bisa diubah-ubah sesuai kehendak dan prosesnya mirip seperti Word Office.
Bila anda menginginkan stimulus inspirasi berupa lagu, anda kembali ke fitur konfigurasi dan klik bagian sound. Prosesnya mirip seperti background. Sayangnya, khusus fitur ini hanya bisa memuat satu lagu saja.
Ini artinya, sekalipun tulisan anda panjang, creawriter hanya menyediakan satu lagu saja. Bila anda niat, gunakan aplikasi pemotong lagu dan gabung-gabungkan potongan lagu lalu masukan ke dalam CreaWriter.
Kekuarangan lain variasi font (huruf) pada CreaWriter bisa dibilang terbatas. Dengan begitu, bagi penulis yang memiliki font favorit bisa kecewa. Secara keseluruhan, aplikasi ini cukup menarik untuk dicoba. Barang kali benar-benar menghadirkan inspirasi bagi anda yang senang menulis.***
REPUBLIKA, Senin, 22 Maret 2010, 11:52 WIB
Senin, 22 Maret 2010
Rabu, 10 Maret 2010
MENULIS BUKU
Seorang teman mengeluhkan tentang masih rendahnya jumlah buku yang terbit pada setiap tahunnya di Indonesia. Dia tidak menyebut data, berapa setiap tahun buku baru yang berhasil diterbitkan. Selain itu dia juga tidak membandingkan jumlah buku yang terbit di negara-negara lain, sehingga kelihatan bahwa memang buku yang terbit di negeri ini betul-betul masih rendah, sehingga perlu dipacu lebih keras lagi.
Teman tersebut hanya mengatakan bahwa pada setiap pergi ke toko buku, mencari buku baru ternyata tidak mudah menemukannya. Kenyataan itu ia rasakan sebagai sesuatu yang aneh, apalagi jika dibandingkan dengan perguruan tinggi yang jumlahnya sedemikian banyak. Ia membayangkan bahwa jika setiap dosen, misalnya pada setiap tahun menulis sebuah buku saja, maka jumlah buku yang terbit akan sedemikian banyak. Karena jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, tentu akan diikuti oleh jumlah dosennya.
Menulis buku bagi dosen semestinya merupakan kewajiban. Sebab selain digunakan sebagai bahan kuliah, juga diperlukan sebagai bahan kenaikan jabatan akademik. Seorang dosen tidak akan naik jabatan akademiknya, jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi persyaratan. Di antaranya itu adalah buku-buku karya ilmiah, baik berupa laporan hasil penelitian maupun buku teks yang ditulisnya.
Atas dasar prosedur dan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu memang seharusnya seorang dosen selalu menulis. Jika setiap dua tahun misalnya, diharapkan setidak-tidaknya seorang dosen menghasilkan sebuah buku adalah bukan berlebih-lebihan. Dosen setiap dua tahun sekali berhak naik jabatan akademiknya, asalkan yang bersangkutan memenuhi persyaratannya itu. Sehingga, tuntutan agar dosen selalu menulis adalah wajar, dan bahkan seharusnya, apalagi jika dikaitkan dengan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu.
Hanya menjadi terasa aneh, tatkala melihat jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, dan tentu jumlah dosennya juga sedemikian besar, tetapi karya-karya ilmiah yang diterbitkan masih terasa sedikit. Saya pernah mendapat informasi dari salah seorang yang memiliki wewenang dan mengetahui tentang penerbitan ini. Ia menceritakan, bahwa ada perguruan tinggi yang jumlah dosennya tidak kurang dari 1500 orang, tetapi buku yang berhasil diterbitkan pada setiap tahun dari kampus itu hanya sekitar antara 10 sampai 15 buah.
Informasi itu jika benar memang sangat mengecewakan. Produktivitas dosen, terutama menyangkut karya ilmiah, dengan informasi itu terbukti masih rendah. Hal itu menjadi tidak wajar, jika misalnya kenaikan jabatan akademik para dosen perguruan tinggi dimaksud tetap berlangsung. Semestinya, dengan rendahnya jumlah buku atau karya ilmiah yang berfhasil diterbitkan, akan diikuti oleh rendahnya kenaikan jabatan akademik para dosennya.
Kemampuan menulis bagi para dosen kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sebagai seorang dosen mereka telah lulus S2 dan bahkan S3. Sebagai persyaratan lulus pada jenjang pendidikan itu mereka telah menulis karya ilmiah atas bimbingan dosen pembimbing atau bahkan juga promotor. Karya ilmiah itu telah diuji dan lulus, sehingga hal itu sekaligus menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kemampuan menulis.
Hanya anehnya, mengapa kemudian setelah lulus dan menjadi dosen mereka kurang produktif. Padahal tugas mereka sehari-hari sebagai seorang pengajar di perguruan tinggi adalah selalu terkait dengan tulis menulis. Jika benar bahwa produktivitas buku setiap tahunnya masih rendah, padahal jumlah perguruan tinggi sedemikian banyak, maka sesungguhnya ada sesuatu yang masih perlu dicarikan solusinya. Apakah rendahnya produktivitas penulisan buku di kalangan perguruan tinggi itu disebabkan oleh biaya, tidak ada semangat atau motivasi, merasa tidak ada tuntutan, atau memang belum lahir budaya menulis.
Apapun jawabannya, kegiatan tulis menulis di kalangan perguruan tinggi harus digalakkan. Sebab tatkala orang menilai tingkat kemajuan budaya suatu bangsa, maka akan melihat seberapa banyak karya ilmiah atau buku yang berhasil ditulis pada setiap tahunnya. Memang terdengar aneh, jika perguruan tinggi sedemikian banyak, tetapi jumlah buku atau karya ilmiah yang dihasilkan masih terbatas.
Semestinya harus dipahami bahwa produk perguruan tinggi bukan hanya berupa banyaknya lulusan yang setiap tahun diwisuda, melainkan juga karya ilmiah yang dihasilkan oleh para dosennya. Jika hasil penelitian dan karya ilmiah atau buku-buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan setiap tahun masih terbatas jumlahnya, bisa saja orang kemudian mengatakan bahwa, perguruan tinggi di negeri ini masih bisa disebut, bagaikan terlalu banyak tanaman tetapi buahnya masih kurang. Wallahu a’lam.
sumber: http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1180:menulis-buku&catid=25:artikel-rektor
Teman tersebut hanya mengatakan bahwa pada setiap pergi ke toko buku, mencari buku baru ternyata tidak mudah menemukannya. Kenyataan itu ia rasakan sebagai sesuatu yang aneh, apalagi jika dibandingkan dengan perguruan tinggi yang jumlahnya sedemikian banyak. Ia membayangkan bahwa jika setiap dosen, misalnya pada setiap tahun menulis sebuah buku saja, maka jumlah buku yang terbit akan sedemikian banyak. Karena jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, tentu akan diikuti oleh jumlah dosennya.
Menulis buku bagi dosen semestinya merupakan kewajiban. Sebab selain digunakan sebagai bahan kuliah, juga diperlukan sebagai bahan kenaikan jabatan akademik. Seorang dosen tidak akan naik jabatan akademiknya, jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi persyaratan. Di antaranya itu adalah buku-buku karya ilmiah, baik berupa laporan hasil penelitian maupun buku teks yang ditulisnya.
Atas dasar prosedur dan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu memang seharusnya seorang dosen selalu menulis. Jika setiap dua tahun misalnya, diharapkan setidak-tidaknya seorang dosen menghasilkan sebuah buku adalah bukan berlebih-lebihan. Dosen setiap dua tahun sekali berhak naik jabatan akademiknya, asalkan yang bersangkutan memenuhi persyaratannya itu. Sehingga, tuntutan agar dosen selalu menulis adalah wajar, dan bahkan seharusnya, apalagi jika dikaitkan dengan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu.
Hanya menjadi terasa aneh, tatkala melihat jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, dan tentu jumlah dosennya juga sedemikian besar, tetapi karya-karya ilmiah yang diterbitkan masih terasa sedikit. Saya pernah mendapat informasi dari salah seorang yang memiliki wewenang dan mengetahui tentang penerbitan ini. Ia menceritakan, bahwa ada perguruan tinggi yang jumlah dosennya tidak kurang dari 1500 orang, tetapi buku yang berhasil diterbitkan pada setiap tahun dari kampus itu hanya sekitar antara 10 sampai 15 buah.
Informasi itu jika benar memang sangat mengecewakan. Produktivitas dosen, terutama menyangkut karya ilmiah, dengan informasi itu terbukti masih rendah. Hal itu menjadi tidak wajar, jika misalnya kenaikan jabatan akademik para dosen perguruan tinggi dimaksud tetap berlangsung. Semestinya, dengan rendahnya jumlah buku atau karya ilmiah yang berfhasil diterbitkan, akan diikuti oleh rendahnya kenaikan jabatan akademik para dosennya.
Kemampuan menulis bagi para dosen kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sebagai seorang dosen mereka telah lulus S2 dan bahkan S3. Sebagai persyaratan lulus pada jenjang pendidikan itu mereka telah menulis karya ilmiah atas bimbingan dosen pembimbing atau bahkan juga promotor. Karya ilmiah itu telah diuji dan lulus, sehingga hal itu sekaligus menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kemampuan menulis.
Hanya anehnya, mengapa kemudian setelah lulus dan menjadi dosen mereka kurang produktif. Padahal tugas mereka sehari-hari sebagai seorang pengajar di perguruan tinggi adalah selalu terkait dengan tulis menulis. Jika benar bahwa produktivitas buku setiap tahunnya masih rendah, padahal jumlah perguruan tinggi sedemikian banyak, maka sesungguhnya ada sesuatu yang masih perlu dicarikan solusinya. Apakah rendahnya produktivitas penulisan buku di kalangan perguruan tinggi itu disebabkan oleh biaya, tidak ada semangat atau motivasi, merasa tidak ada tuntutan, atau memang belum lahir budaya menulis.
Apapun jawabannya, kegiatan tulis menulis di kalangan perguruan tinggi harus digalakkan. Sebab tatkala orang menilai tingkat kemajuan budaya suatu bangsa, maka akan melihat seberapa banyak karya ilmiah atau buku yang berhasil ditulis pada setiap tahunnya. Memang terdengar aneh, jika perguruan tinggi sedemikian banyak, tetapi jumlah buku atau karya ilmiah yang dihasilkan masih terbatas.
Semestinya harus dipahami bahwa produk perguruan tinggi bukan hanya berupa banyaknya lulusan yang setiap tahun diwisuda, melainkan juga karya ilmiah yang dihasilkan oleh para dosennya. Jika hasil penelitian dan karya ilmiah atau buku-buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan setiap tahun masih terbatas jumlahnya, bisa saja orang kemudian mengatakan bahwa, perguruan tinggi di negeri ini masih bisa disebut, bagaikan terlalu banyak tanaman tetapi buahnya masih kurang. Wallahu a’lam.
sumber: http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1180:menulis-buku&catid=25:artikel-rektor
Rabu, 27 Januari 2010
PAMONG
28 Februari 2009, hari ini, adalah hari yang biasa saja. Kamis, setelah hari Rabu kemarin. Matahari pun sama masih terbit dari Timur dengan matahari yang sama. Tetapi bagi Indonesia menjadi begitu berbeda, luar biasa, sangat penting, istimewa, ketika hari ini dilebelkan dengan kata seratus. 100 menjadi angka yang sangat sensitif yang merubah makna hari ini. Seratus menjadi bukanlah hanya susunan angka yang teridiri atas angka satu yang diikuti dua angka nol di belakangnya. Tetapi menjadi sebuah samudera yang sangat terbuka luas dan dalam berpalung-palung di bawahnya. Di atasnya angin berhembus begitu kencang, sehingga ombak bergelora berdebur-debur. Sementara di bawahnya sangat dingin dengan arus liar yang sangat deras. Memang Indonesia merupakan negara kesatuan dengan laut yang menyatukan pulau-pulau di dalamnya. Seratus menjadi sebuah pesan yang sarat makna. Celoteh camar-camar yang terbang merendah lalu menjaun, untuk nanti datang kembali dengan pesan yang belum termaknai.
Dalam dollar, 100 adalah pecahan terbesar. Dalam rupiah, 100 adalah pecahan terkecil. Dunia ini memang penuh angka. Tapi angka-angka itu akan berbeda di setiap pasang mata manusia yang memandangnya (simplyiyo.com). Pembedanya adalah satuan yang melekatinya. Apa yang melekat dengan si seratus itulah yang membuatnya menjadi sedemikian adanya. Selanjutnya simplyiyo.com, menuliskan “Seorang jenius bukanlah orang yang bisa menguasai banyak sekali hal dengan sedikit-sedikit, tapi merupakan seseorang yang memiliki cukup satu atau dua bidang yang ia tekuni. Dan bidang itu ia kuasai seluruhnya, serta ia bisa berprestasi di dalamnya.” Kefokusan merupakan esensi yang aplikatif kemanfaatan dari seseorang. Seseorang yang berdiri lalu melangkah mengarah walau harus berdarah-darah. Hidup adalah darah. Darah adalah hidup. Melingkupi sekejur tubuh. Utuh. Menyeluruh. Menyelaras semesta.
Aku tidak paham apa yang terjadi hari ini. Terlalu miskin pikiran ini untuk mengerti. Namun jika ini tentang keindonesiaan, aku teringat apa yang sempat kubaca dalam sebuah buku karya Prof Dr. Komarudin Hidayat yang berjudul Memaknai Jejak-jejak Kehidupan, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2009. Buku kecil yang menarik untukku. Pak Rektor UIN ini menuliskan bahwa perilaku sosial bangsa ini tidak lagi memiliki parameter yang jelas untuk membedakan antara yang benar dan salah, jujur dan bohong, pejuang dan pecundang, pelayan rakyat dan pemeras rakyat, dan seterusnya. Nilai-nilai luhur sebagai parameter bangsa dan masyarakat inilah yang semakin sirna dan harus kita temukan kembali. Demikian cuplikan dari salah satu tulisannya yang berjudul Menemukan Kembali Indonesia, yang merupakan judul pertamanya dalam buku tersebut. Komarudin menutup paragraf terakhirnya dengan menuliskan: Saya sendiri belum tahu dan belum melihat tanda-tanda, skenario besar apakah yang akan disiapkan Pemerintah agar optimisme, harapan, dan kerinduan untuk bangkit itu nantinya akan menggumpalkan dan menggelora bagaikan tsunami kebangkitan bangsa yang sanggup meruntuhkan tembok-tembok pelindung para koruptor serta politsi yang berperilaku sok pejuang dan pembela rakyat. Padahal mereka tak lebih sebagai pembajak instrumen dan fasilitas Negara untuk kepentingan diri.
Indonesia adalah garuda yang terbang di langit nusantara, di atas tanah dan air Sabang sampai Merauke. Dilukis grafis, bahkan terlalu manis hingga hinggap di kaos Armani. Memerahputihkan tulisan ini, aku menutup dengan mengutip Sajak Merah Putih dalam buku Sesobek Buku Harian Indonesia Empat Kumpulan Sajak karya Emha Ainun Nadjib, terbitan PT Bentang Intervisi Utama, cetakan Mei 1993. Sajak? Benar karena aku tak bisa bersajak walau sejenak. Juga karena menurut Mustofa W Hasyim, sang penyunting bukunya, sesungguhnya bukan hanya suara Emha secara pribadi yang akan bergema, tetapi juga suara hati nurani sebuah jaman. Sebab penyair, di mana pun, adalah hati nurani jaman, yang senantiasa bergerak dan tidak menyerah.
Sajak Merah Putih. Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami pekerjakan. Kami yang berwenang memilih dan menobatkan kalian serta kami pula yang berhak menyuruh kalian turun dari singgasana. Jangan bilang diri kalian penguasa sebab pada kamilah tergenggam kekuasaan yang dititipkan oleh Tuhan sang pengelola agung. Jangan sebut diri kalian pemimpin karena kalian hanyalah petugas dari kepemimpinan kami atas tanah dan air negeri ini.
Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami bela dan kasihi. Selalu kami bersihkan debu setan di balik kuku-kuku kalian yang akan kami potong kalau terlalu panjang. Jika ada siapa pun yang hendak menghilangkan satu jari saja pun, kami akan bergolak. Sebab kalian para pamong negeri adalah kaki yang kokoh oleh kiriman darah dari jantung kami. Sebab kalian para pamong negeri adalah tangan yang kami tanami keterampilan dan kejujuran.
Kalian para guru bangsa adalah kepala yang akan membuat kami marah jika ada secercah penghinaan saja pun coba menusuknya. Kalian para cerdik cendekia adalah gumpalan otak yang setiap kali kami cuci di kolam kasih sayang. Kalian para alim ulama adalah hati sanubari yang kami peluk cium sepanjang zaman karena ketidaksanggupan kalian untuk berbohong. Dan kalian para penoreh keindahan adalah bola mata kami yang setia mengantarkan sejarah ke cakrawala.***
Dari : Agus Faizal (afz on web)
Dalam dollar, 100 adalah pecahan terbesar. Dalam rupiah, 100 adalah pecahan terkecil. Dunia ini memang penuh angka. Tapi angka-angka itu akan berbeda di setiap pasang mata manusia yang memandangnya (simplyiyo.com). Pembedanya adalah satuan yang melekatinya. Apa yang melekat dengan si seratus itulah yang membuatnya menjadi sedemikian adanya. Selanjutnya simplyiyo.com, menuliskan “Seorang jenius bukanlah orang yang bisa menguasai banyak sekali hal dengan sedikit-sedikit, tapi merupakan seseorang yang memiliki cukup satu atau dua bidang yang ia tekuni. Dan bidang itu ia kuasai seluruhnya, serta ia bisa berprestasi di dalamnya.” Kefokusan merupakan esensi yang aplikatif kemanfaatan dari seseorang. Seseorang yang berdiri lalu melangkah mengarah walau harus berdarah-darah. Hidup adalah darah. Darah adalah hidup. Melingkupi sekejur tubuh. Utuh. Menyeluruh. Menyelaras semesta.
Aku tidak paham apa yang terjadi hari ini. Terlalu miskin pikiran ini untuk mengerti. Namun jika ini tentang keindonesiaan, aku teringat apa yang sempat kubaca dalam sebuah buku karya Prof Dr. Komarudin Hidayat yang berjudul Memaknai Jejak-jejak Kehidupan, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2009. Buku kecil yang menarik untukku. Pak Rektor UIN ini menuliskan bahwa perilaku sosial bangsa ini tidak lagi memiliki parameter yang jelas untuk membedakan antara yang benar dan salah, jujur dan bohong, pejuang dan pecundang, pelayan rakyat dan pemeras rakyat, dan seterusnya. Nilai-nilai luhur sebagai parameter bangsa dan masyarakat inilah yang semakin sirna dan harus kita temukan kembali. Demikian cuplikan dari salah satu tulisannya yang berjudul Menemukan Kembali Indonesia, yang merupakan judul pertamanya dalam buku tersebut. Komarudin menutup paragraf terakhirnya dengan menuliskan: Saya sendiri belum tahu dan belum melihat tanda-tanda, skenario besar apakah yang akan disiapkan Pemerintah agar optimisme, harapan, dan kerinduan untuk bangkit itu nantinya akan menggumpalkan dan menggelora bagaikan tsunami kebangkitan bangsa yang sanggup meruntuhkan tembok-tembok pelindung para koruptor serta politsi yang berperilaku sok pejuang dan pembela rakyat. Padahal mereka tak lebih sebagai pembajak instrumen dan fasilitas Negara untuk kepentingan diri.
Indonesia adalah garuda yang terbang di langit nusantara, di atas tanah dan air Sabang sampai Merauke. Dilukis grafis, bahkan terlalu manis hingga hinggap di kaos Armani. Memerahputihkan tulisan ini, aku menutup dengan mengutip Sajak Merah Putih dalam buku Sesobek Buku Harian Indonesia Empat Kumpulan Sajak karya Emha Ainun Nadjib, terbitan PT Bentang Intervisi Utama, cetakan Mei 1993. Sajak? Benar karena aku tak bisa bersajak walau sejenak. Juga karena menurut Mustofa W Hasyim, sang penyunting bukunya, sesungguhnya bukan hanya suara Emha secara pribadi yang akan bergema, tetapi juga suara hati nurani sebuah jaman. Sebab penyair, di mana pun, adalah hati nurani jaman, yang senantiasa bergerak dan tidak menyerah.
Sajak Merah Putih. Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami pekerjakan. Kami yang berwenang memilih dan menobatkan kalian serta kami pula yang berhak menyuruh kalian turun dari singgasana. Jangan bilang diri kalian penguasa sebab pada kamilah tergenggam kekuasaan yang dititipkan oleh Tuhan sang pengelola agung. Jangan sebut diri kalian pemimpin karena kalian hanyalah petugas dari kepemimpinan kami atas tanah dan air negeri ini.
Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami bela dan kasihi. Selalu kami bersihkan debu setan di balik kuku-kuku kalian yang akan kami potong kalau terlalu panjang. Jika ada siapa pun yang hendak menghilangkan satu jari saja pun, kami akan bergolak. Sebab kalian para pamong negeri adalah kaki yang kokoh oleh kiriman darah dari jantung kami. Sebab kalian para pamong negeri adalah tangan yang kami tanami keterampilan dan kejujuran.
Kalian para guru bangsa adalah kepala yang akan membuat kami marah jika ada secercah penghinaan saja pun coba menusuknya. Kalian para cerdik cendekia adalah gumpalan otak yang setiap kali kami cuci di kolam kasih sayang. Kalian para alim ulama adalah hati sanubari yang kami peluk cium sepanjang zaman karena ketidaksanggupan kalian untuk berbohong. Dan kalian para penoreh keindahan adalah bola mata kami yang setia mengantarkan sejarah ke cakrawala.***
Dari : Agus Faizal (afz on web)
Minggu, 17 Januari 2010
LARUT
Materi obrolan di forum tetangga semakin seru dan menderu-deru. Ada tentang gerhana matahari cincin. Lalu merambat ke reality shows layar televisi di istana penjara Pondok Bambu, hingga Century Gate yang semakin mengeras. Liar menjalar. Merambahlah ke belantara dunia warna-warni Fesbuk. Ada yang menjaga jarak, hati-hati banyak kasus lho. Begitu katanya. Hingga ada yang mengatakan bahwa nggak semua informasi itu adalah kebenaran. Hah… bapak-bapak juga kalau sudah ngumpul bawel juga. Bawel memang unisex, tidak punya genre ataupun status. Tetapi muncul bagai turunnya hujan ketika kesamaan sosial mengapung ke permukaan. Maka penimpalan mengembang bukan basa-basi. Yang sekarang sudah jadi go a head. Tapi bisa-bisa sampai masuk angin. Ehem!
Salah satu di antara peserta forum, tiba-tiba mengatakan kalau dirinya skeptis terhadap segala macam hal. Dialah sang peragu. Meragukan segala hal. Baginya, saya tidak tahu adalah dianggap sudah menjadi ketentuan pengetahuan dan nasib manusia. Menurut pandangan skeptisme, manusia tidak mungkin dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Aku terperangah dengan mulut sedikit menganga. Kalimat yang terlalu serius untuk sebuah bla-bla-bla bertetangga. Tapi pernyataan itu merayap diam-diam di dinding pemikiran. Penampakannya mengganggu konsentrasi hingga membuat kesadaran tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Terus terngiang, membayang samar memetakan kata skeptis yang berkilatan di malam yang semakin larut walau sudah berselimut. Meragukan kepenasaranan.
Gelitik yang terselip itu merubah tanda tanya menjadi energi kinetik. Mencuri waktu, besok malamnya aku pun googling. Berbahagialah, karena apa yang aku rasakan adalah hal yang lumrah. Walau aku belum sepenuhnya percaya. Buktinya Divan Semesta menceritakan pengalaman pribadinya yang mirip sekali denganku. Diapun menuliskannya panjang dan detail. Berikut adalah nukilan hasil pendalamannya yang begitu menggairahkan di openmindmagz.com.
Skeptis adalah fundamen terpenting dan terbaik dalam melakukan penjagaan diri kita. Skeptis adalah sebuah penetapan diri kita sebagai otonomi penuh sebuah ruh dan tubuh! Skeptis adalah sebuah tali besi yang akan menjaga kita untuk tidak dibohongi karena dibohongi itu tidak enak, dan sebaliknya jika kita skeptis, akan ada banyak hikmah yang bakal kita dapatkan. Jika kita skeptis maka kita bakal mempertimbangkan segala badai informasi yang berusaha menembus keyakinan diri. Skeptis adalah sebuah benteng pelindung paling tebal terhadap segala macam bentuk doktrinasi, saat orang lain mengangguk-angguk di hadapan hegemoni kata, yang membantu melapisi keanehan dan ketidak rasionalan sebuah pemikiran. Skeptis adalah sikap yang menempatkan keadilan di atas solidaritas semu persahabatan dan kekeluargaan. Ia akan mengkondisikan diri kita untuk tidak memberikan seratus persen kepercayaan kepada manusia manapun, bahkan pada orang yang terdekat dengan diri kita. Ketidakpercayaan itu akan menjaga kita untuk menyamakan porsi keadilan di hadapan sebuah kasus, yang melibatkan orang yang baru kita kenal dengan sahabat dan keluarga yang mencintai kita. Sikap skeptis seperti itulah, yang akan menjaga kita dari kejahatan terhadap kepercayaan mutlak kepada manusia. Sikap skeptis seperti itulah yang akan membentuk diri menjadi individu yang memiliki kekuatan fikir dan mental, mengembalikan kepercayaan diri untuk meludahi dan menggergaji segala macam bentuk doktrinasi dan hegemoni. Menghancurkan perbudakan manusia terhadap manusia lainnya, untuk kemudian mengembalikan kepatuhan kita kepada Rasul dan penghambaan diri kita kepada Tuhan Semesta.
Sementara itu, parapemikir.com dalam artikelnya tentang skeptis mengatakan bahwa sesungguhnya manusia dalam beberapa hal mampu mengetahui hakikat kebenaran itu 100% dan dalam hal lainnya tidak akan mampu mengetahuinya.
Akhir pekan larut diaduk malam dingin, setelah sore disemprot hujan. Basah masih menggenang di tanah. Mata masih sulit terpejam sampai keyboard ini mengalirkan kata. Seperti kata parapemikir.com, kita tidak bisa mempercayai panca indra dan rasio untuk dijadikan sandaran pengetahuan, karenanya kita tidak mempunyai sandaran maka secara otomatis kita sebagai manusia tidak mungkin bisa mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti. Kembali, saya tidak tahu adalah sudah menjadi ketentuan nasib manusia.
Aku mengalami pelainan diri. Kata-kata yang terguncang. Terasa sangat jelas. Seperti gelapnya malam. Larut.***
by: Afz on Web
Salah satu di antara peserta forum, tiba-tiba mengatakan kalau dirinya skeptis terhadap segala macam hal. Dialah sang peragu. Meragukan segala hal. Baginya, saya tidak tahu adalah dianggap sudah menjadi ketentuan pengetahuan dan nasib manusia. Menurut pandangan skeptisme, manusia tidak mungkin dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Aku terperangah dengan mulut sedikit menganga. Kalimat yang terlalu serius untuk sebuah bla-bla-bla bertetangga. Tapi pernyataan itu merayap diam-diam di dinding pemikiran. Penampakannya mengganggu konsentrasi hingga membuat kesadaran tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Terus terngiang, membayang samar memetakan kata skeptis yang berkilatan di malam yang semakin larut walau sudah berselimut. Meragukan kepenasaranan.
Gelitik yang terselip itu merubah tanda tanya menjadi energi kinetik. Mencuri waktu, besok malamnya aku pun googling. Berbahagialah, karena apa yang aku rasakan adalah hal yang lumrah. Walau aku belum sepenuhnya percaya. Buktinya Divan Semesta menceritakan pengalaman pribadinya yang mirip sekali denganku. Diapun menuliskannya panjang dan detail. Berikut adalah nukilan hasil pendalamannya yang begitu menggairahkan di openmindmagz.com.
Skeptis adalah fundamen terpenting dan terbaik dalam melakukan penjagaan diri kita. Skeptis adalah sebuah penetapan diri kita sebagai otonomi penuh sebuah ruh dan tubuh! Skeptis adalah sebuah tali besi yang akan menjaga kita untuk tidak dibohongi karena dibohongi itu tidak enak, dan sebaliknya jika kita skeptis, akan ada banyak hikmah yang bakal kita dapatkan. Jika kita skeptis maka kita bakal mempertimbangkan segala badai informasi yang berusaha menembus keyakinan diri. Skeptis adalah sebuah benteng pelindung paling tebal terhadap segala macam bentuk doktrinasi, saat orang lain mengangguk-angguk di hadapan hegemoni kata, yang membantu melapisi keanehan dan ketidak rasionalan sebuah pemikiran. Skeptis adalah sikap yang menempatkan keadilan di atas solidaritas semu persahabatan dan kekeluargaan. Ia akan mengkondisikan diri kita untuk tidak memberikan seratus persen kepercayaan kepada manusia manapun, bahkan pada orang yang terdekat dengan diri kita. Ketidakpercayaan itu akan menjaga kita untuk menyamakan porsi keadilan di hadapan sebuah kasus, yang melibatkan orang yang baru kita kenal dengan sahabat dan keluarga yang mencintai kita. Sikap skeptis seperti itulah, yang akan menjaga kita dari kejahatan terhadap kepercayaan mutlak kepada manusia. Sikap skeptis seperti itulah yang akan membentuk diri menjadi individu yang memiliki kekuatan fikir dan mental, mengembalikan kepercayaan diri untuk meludahi dan menggergaji segala macam bentuk doktrinasi dan hegemoni. Menghancurkan perbudakan manusia terhadap manusia lainnya, untuk kemudian mengembalikan kepatuhan kita kepada Rasul dan penghambaan diri kita kepada Tuhan Semesta.
Sementara itu, parapemikir.com dalam artikelnya tentang skeptis mengatakan bahwa sesungguhnya manusia dalam beberapa hal mampu mengetahui hakikat kebenaran itu 100% dan dalam hal lainnya tidak akan mampu mengetahuinya.
Akhir pekan larut diaduk malam dingin, setelah sore disemprot hujan. Basah masih menggenang di tanah. Mata masih sulit terpejam sampai keyboard ini mengalirkan kata. Seperti kata parapemikir.com, kita tidak bisa mempercayai panca indra dan rasio untuk dijadikan sandaran pengetahuan, karenanya kita tidak mempunyai sandaran maka secara otomatis kita sebagai manusia tidak mungkin bisa mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti. Kembali, saya tidak tahu adalah sudah menjadi ketentuan nasib manusia.
Aku mengalami pelainan diri. Kata-kata yang terguncang. Terasa sangat jelas. Seperti gelapnya malam. Larut.***
by: Afz on Web
Minggu, 10 Januari 2010
BAHAGIA SELAMA HIDUP?
Ada seseorang yang selalu resah dan gelisah dalam hidupnya menemui seorang bijak dan berkata:"Guru, saya tidak pernah mendapatkan KEBAHAGIAAN dalam hidupku....Tolong ajarkan saya agar HIDUPKU SELALU BAHAGIA!"
Orang bijak itu menjawab:
"Kebahagiaan itu sebenarnya tidak perlu kau cari....Kebahagiaan itu ada pada dirimu sendiri. Tapi kamu dapat belajar untuk menemukannya"
"Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?"
Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab,
"Kira-kira sepuluh tahun."
Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut,
"Begitu lama?" tanyanya tak percaya.
"Tidak," kata si orang bijak,"Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun."
Anak muda itu bertambah bingung.
"Mengapa Guru lipatkan dua?" tanyanya keheranan.
Orang bijak kemudian berkata,
"Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan waktu 30 tahun."
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca cerita di atas?
Tahukah kita mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya,
semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?
Lantas,
bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?
Sebagaimana yang telah banyak disampaikan,
kebahagiaan hanya akan dicapai
kalau kita mau melakukan perjalanan KE DALAM.
Namun,
itu semua tidak dapat kita peroleh dengan cuma-cuma.
Kita harus mau MEMBAYAR HARGANYA.
Agar lebih mudah kita gunakan analogi sebuah toko.
Nama toko itu adalah "TOKO KEBAHAGIAAN"
Di sana tidak ada barang yang bernama "Kebahagiaan" karena
"Kebahagiaan" itu sendiri TIDAK DIJUAL.
Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: KESABARAN, KEIKHLASAN, RASA SYUKUR, KASIH SAYANG, KEJUJURAN, KEPASRAHAN KEPADA TUHAN dan RELA MEMAAFKAN.
Inilah "barang-barang" yang kita perlukan untuk mencapai kebahagiaan.
Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi.
Yang dijual di sini adalah BENIH.
Jadi, kalau kita tertarik untuk Membeli "Kesabaran" kita hanya bisa mendapatkan "Benih Kesabaran".
Karena itu, segera setelah kita pulang ke rumah kita harus berusaha keras untuk menumbuhkan dan memelihara benih tersebut sampai ia menghasilkan BUAH KESABARAN.
Setiap benih yang kita beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus kita pecahkan. Hanya bila kita MAMPU memecahkan persoalan tersebut, kita akan menuai buahnya.
Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya.
"Kesabaran Tingkat 1", misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas atau
pengemudi bus yang ugal-ugalan.
"Tingkat 2" berarti menghadapi orang yang sewenang-wenang atau
orang yang suka memfitnah..
"Kesabaran Tingkat 3",misalnya, adalah menghadapi keluarga kita yang sendiri. Seperti menghadapi istri yang cerewet atau suami yang nyebelin, malas dan kurang perhatian
Produk yang lain misalnya "BERSYUKUR"
"Bersyukur Tingkat 1" adalah bersyukur di kala SENANG siap bersedekah kala kantong tebal, sementara "Bersyukur Tingkat 2" adalah bersyukur di kala SUSAH sedang defisitpun tetap bersedekah.
"KEJUJURAN Tingkat 1", misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara
"Kejujuran Tingkat 2" adalah kejujuran dalam kondisi TERANCAM.
Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di "Toko Kebahagiaan".
Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan KUALITAS KARAKTER yang ditimbulkannya.
Yang TERMAHAL ternyata adalah "KESABARAN" karena kesabaran ini merupakan Bahan Baku dari segala macam produk yang dijual di sana.
Seorang filsuf pernah mengatakan,
"Apa yang Kita Peroleh dengan TERLALU MUDAH PASTI KURANG kita HARGAI. Hanya harga yang MAHAL-lah yang memberi NILAI kepada SEGALANYA. Tuhan tahu bagaimana MEMASANG harga yang tepat pada barang-barangnya."
Maka ketika kita menyambut setiap masalah dengan penuh KEGEMBIRAAN akan memperoleh "OBAT dan VITAMIN" yang terkandung disetap masalah yang terjadi.
Dengan demikian kita akan BERTERIMA KASIH kepada orang-orang yang telah Menyusahkan kita karena mereka memang "diutus" untuk membantu Kita.
Pengemudi yang ugal-ugalan, orang yang jahat, orang yang sewenang-wenang adalah peluang untuk MEMBENTUK kesabaran.
Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk MENUMBUHKAN RASA SYUKUR.
Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk MENUMBUHKAN KONSENTRASI.
Bertemu dengan orang-orang yang TAK TAHU BERTERIMA KASIH adalah
peluang untuk menumbuhkan PERASAAN KASIH tanpa syarat.
Orang-orang yang MENYAKITI kita adalah peluang untuk MENUMBUHKAN kualitas RELA MEMAAFKAN.
Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:
"Aku memohon kekuatan dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku KUAT.
Aku memohon kebijaksanaan dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan.
Aku memohon kemakmuran dan Tuhan memberiku TUBUH dan OTAK untuk bekerja.
Aku memohon keberanian dan Tuhan memberiku berbagai BAHAYA untuk aku atasi.
Aku memohon cinta dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku bantu.
Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan.
Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan,
tetapi Aku MENDAPATKAN apapun yang aku BUTUHKAN."
Allah SWT berfirman bahwa kita semua dilarang merasa terhina tidak boleh pula terus menerus larut dalam kesedihan karena kita adalah orang-orang yang akan senantiasa ditinggikan derajatnya jika kita adalah orang-orang yang senantiasa menjaga keimanan kita (Walaa tahunuu walaa tahzanuu wa antumul a’launa in kuntum mu’miniin).***
Orang bijak itu menjawab:
"Kebahagiaan itu sebenarnya tidak perlu kau cari....Kebahagiaan itu ada pada dirimu sendiri. Tapi kamu dapat belajar untuk menemukannya"
"Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?"
Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab,
"Kira-kira sepuluh tahun."
Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut,
"Begitu lama?" tanyanya tak percaya.
"Tidak," kata si orang bijak,"Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun."
Anak muda itu bertambah bingung.
"Mengapa Guru lipatkan dua?" tanyanya keheranan.
Orang bijak kemudian berkata,
"Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan waktu 30 tahun."
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca cerita di atas?
Tahukah kita mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya,
semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?
Lantas,
bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?
Sebagaimana yang telah banyak disampaikan,
kebahagiaan hanya akan dicapai
kalau kita mau melakukan perjalanan KE DALAM.
Namun,
itu semua tidak dapat kita peroleh dengan cuma-cuma.
Kita harus mau MEMBAYAR HARGANYA.
Agar lebih mudah kita gunakan analogi sebuah toko.
Nama toko itu adalah "TOKO KEBAHAGIAAN"
Di sana tidak ada barang yang bernama "Kebahagiaan" karena
"Kebahagiaan" itu sendiri TIDAK DIJUAL.
Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: KESABARAN, KEIKHLASAN, RASA SYUKUR, KASIH SAYANG, KEJUJURAN, KEPASRAHAN KEPADA TUHAN dan RELA MEMAAFKAN.
Inilah "barang-barang" yang kita perlukan untuk mencapai kebahagiaan.
Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi.
Yang dijual di sini adalah BENIH.
Jadi, kalau kita tertarik untuk Membeli "Kesabaran" kita hanya bisa mendapatkan "Benih Kesabaran".
Karena itu, segera setelah kita pulang ke rumah kita harus berusaha keras untuk menumbuhkan dan memelihara benih tersebut sampai ia menghasilkan BUAH KESABARAN.
Setiap benih yang kita beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus kita pecahkan. Hanya bila kita MAMPU memecahkan persoalan tersebut, kita akan menuai buahnya.
Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya.
"Kesabaran Tingkat 1", misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas atau
pengemudi bus yang ugal-ugalan.
"Tingkat 2" berarti menghadapi orang yang sewenang-wenang atau
orang yang suka memfitnah..
"Kesabaran Tingkat 3",misalnya, adalah menghadapi keluarga kita yang sendiri. Seperti menghadapi istri yang cerewet atau suami yang nyebelin, malas dan kurang perhatian
Produk yang lain misalnya "BERSYUKUR"
"Bersyukur Tingkat 1" adalah bersyukur di kala SENANG siap bersedekah kala kantong tebal, sementara "Bersyukur Tingkat 2" adalah bersyukur di kala SUSAH sedang defisitpun tetap bersedekah.
"KEJUJURAN Tingkat 1", misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara
"Kejujuran Tingkat 2" adalah kejujuran dalam kondisi TERANCAM.
Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di "Toko Kebahagiaan".
Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan KUALITAS KARAKTER yang ditimbulkannya.
Yang TERMAHAL ternyata adalah "KESABARAN" karena kesabaran ini merupakan Bahan Baku dari segala macam produk yang dijual di sana.
Seorang filsuf pernah mengatakan,
"Apa yang Kita Peroleh dengan TERLALU MUDAH PASTI KURANG kita HARGAI. Hanya harga yang MAHAL-lah yang memberi NILAI kepada SEGALANYA. Tuhan tahu bagaimana MEMASANG harga yang tepat pada barang-barangnya."
Maka ketika kita menyambut setiap masalah dengan penuh KEGEMBIRAAN akan memperoleh "OBAT dan VITAMIN" yang terkandung disetap masalah yang terjadi.
Dengan demikian kita akan BERTERIMA KASIH kepada orang-orang yang telah Menyusahkan kita karena mereka memang "diutus" untuk membantu Kita.
Pengemudi yang ugal-ugalan, orang yang jahat, orang yang sewenang-wenang adalah peluang untuk MEMBENTUK kesabaran.
Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk MENUMBUHKAN RASA SYUKUR.
Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk MENUMBUHKAN KONSENTRASI.
Bertemu dengan orang-orang yang TAK TAHU BERTERIMA KASIH adalah
peluang untuk menumbuhkan PERASAAN KASIH tanpa syarat.
Orang-orang yang MENYAKITI kita adalah peluang untuk MENUMBUHKAN kualitas RELA MEMAAFKAN.
Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:
"Aku memohon kekuatan dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku KUAT.
Aku memohon kebijaksanaan dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan.
Aku memohon kemakmuran dan Tuhan memberiku TUBUH dan OTAK untuk bekerja.
Aku memohon keberanian dan Tuhan memberiku berbagai BAHAYA untuk aku atasi.
Aku memohon cinta dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku bantu.
Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan.
Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan,
tetapi Aku MENDAPATKAN apapun yang aku BUTUHKAN."
Allah SWT berfirman bahwa kita semua dilarang merasa terhina tidak boleh pula terus menerus larut dalam kesedihan karena kita adalah orang-orang yang akan senantiasa ditinggikan derajatnya jika kita adalah orang-orang yang senantiasa menjaga keimanan kita (Walaa tahunuu walaa tahzanuu wa antumul a’launa in kuntum mu’miniin).***
Rabu, 28 Oktober 2009
KEPEMIMPINAN SEJATI
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Hal ini dikatakan dengan lugas oleh seorang jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat:
Don't think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.
General Ronal Fogleman (ret), US Air Force
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab:
As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honour And praise. The next, the people fear, And the next the people hate. When the best leader's work is done, The people say, we did it ourselves.
Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Saya menyaksikan sendiri dalam sebuah acara talk show TV yang dipandu oleh presenter terkenal Oprah Winfrey, bagaimana Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selama bertahun-tahun.
Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell:
The only way that I can keep leading is to keep growing. The day I stop growing, somebody else takes the leadership baton. That is the way it always it.
Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut.
Maospati, 9 Juni 09
BUDI ACHMADI
Don't think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.
General Ronal Fogleman (ret), US Air Force
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab:
As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honour And praise. The next, the people fear, And the next the people hate. When the best leader's work is done, The people say, we did it ourselves.
Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Saya menyaksikan sendiri dalam sebuah acara talk show TV yang dipandu oleh presenter terkenal Oprah Winfrey, bagaimana Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selama bertahun-tahun.
Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell:
The only way that I can keep leading is to keep growing. The day I stop growing, somebody else takes the leadership baton. That is the way it always it.
Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut.
Maospati, 9 Juni 09
BUDI ACHMADI
Minggu, 26 Juli 2009
BUKU TERBARU GARAPAN "SMART"
Untuk kesekian kalinya S M A R T I n s t i t u t e memperoleh kehormatan, kali ini dari Direktur Utama Halim Trans Cargo (HTC) Christianto Muhartawan untuk menerbitkan buku berjudul “MUDA BERKARYA BERJAYA – Untuk Merah Putih”. Bagi SMART jelas merupakan tantangan yang harus dijawab sebagai kehormatan dan kebanggaan untuk menghadirkan karya bermutu. SMART Institute merupakan lembaga konsultan media, dengan berani mengambil positioning sebagai “Book Making Solution”.
Didirikan oleh Drs Moh Agus Suhadi, M.Si – penulis yang sejak remaja menggeluti dunia tulis-menulis dan produksi wacana – dan sekaligus sebagai Editor Utama. Ia dibantu oleh sejumlah reporter dan asisten editor yang punya jam terbang tinggi sebagai penulis. Kini menulis buku, mulai dari oto/biografi, visi pemikiran, profil perusahaan/satuan, atau apapun keinginan yang dikehendaki, bukan lagi menjadi masalah. Hubungi SMART Institute di mobile phone0856 4320 1966, 0819 3247 1966 dan 0813 8073 1966, atau kunjungi www.smartinstitute.blogspot.com , kami s i a p membantu Anda.
RINGKASAN ISI BUKU
Buku “MUDA BERKARYA BERJAYA” berisi tentang kisah keberhasilan seorang pemuda dalam menjalankan bisnisnya di bidang pengiriman barang atau cargo. Pemuda itu tak lain adalah Saudara Christianto Muhartawan.
Christianto, atau biasa dipanggil Chris, adalah anak pensiunan perwira TNI AU yakni almarhum Kolonel Pnb Darsono – terakhir menjabat sebagai Aspers Pangkohanudnas. Dengan kata lain Chris adalah bagian dari Keluarga Besar TNI AU sehinga keberhasilannya adalah keberhasilan Keluarga Besar TNI AU juga.
Dalam buku ini terlihat bahwa Chris bisa membuktikan, hanya dengan kerja keraslah keberhasilan dan kejayaan bisa diraih. Dan karena dia adalah generasi muda dari Keluarga Besar TNI AU maka tentunya bisa dijadikan sebagai contoh dan tauladan bagi anak-anak muda – paling tidak dari Keluarga Besar TNI AU khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Apalagi keberhasilan Chris sama sekali tidak mengandalkan posisi atau jabatan orangtuanya, karena ketika ia memulai bisnis cargonya hampir satu dekade silam, kebetulan sang ayah sudah meninggal dunia. Ini juga point positif yang patut diapresiasi oleh kita semua, di tengah kecenderungan anak muda sekarang yang mengandalkan posisi atau jabatan orangtua sebagai jalan meraih sukses.
Bisnis cargo adalah bisnis yang menjanjikan dan punya prospek yang luar biasa. Cukup melihat kondisi geografis Indonesia yang demikian besar dan luas, yang terbentang dari Sabang sampai Mereuke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bisnis ini memiliki potensi yang luar biasa. Wilayah yang demikian luas ini tentu membutuhkan jasa pengiriman barang dari satu titik ke titik yang lain, sehingga terjadi suatu proses pemerataan distribusi barang yang saling melengkapi dan membutuhkan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, bisnis cargo tidak saja positif dilihat dari aspek bisnis, namun juga bisa dikatakan sebagai akselarator pembangunan bangsa secara menyeluruh dan merata.■
Langganan:
Postingan (Atom)