Tak bisa saya pungkiri, bahwa Marsekal Muda TNI Gandjar Wiranegara adalah sosok pemimpin inspirator, motivator, dan sekaligus promotor bagi saya.
Gandjar sebagai inspirator ketika ia mencuatkan ide agar saya menulis buku tentang bagaimana cara menjadi penulis yang gampang. Maka lahirlah buku saya “Kiat SERDADU yang Handal dan Jago MENULIS”, yang sejak tiga tahun silam telah dijadikan sebagai “buku pintar” bagi seluruh perwira TNI AU.
Gandjar sebagai motivator ketika saya gagal ujian seleksi masuk pendidikan Seskoau yang pertama, maka ia mengajak sekaligus menemani saya berlatih lari (sesuatu yang paling menyedihkan bagi saya dan yang menyebabkan saya gagal seleksi). Maka pada periode seleksi berikutnya, alhmdulillah, saya lulus dan lolos.
Lalu Gandjar sebagai promotor, ketika draft buku SERDADU saya selesai maka ia segera bergegas (sendiri tanpa memerintah bawahannya) membawa draft buku saya itu kepada Ketua Umum Inkopau dan bahkan menghadap Kasau (saat itu) Marsekal Djoko Suyanto. Dan dalam hitungan hari draft buku saya disetujui Kasau dan uang langsung dicairkan oleh Ketum Inkopau, dan buku pun segera diproduksi. Wow!
Egaliter
Salah satu kesan kuat yang melekat pada diri pria kelahiran Banjarmasin 10 Juli 1954 itu adalah sikapnya yang sangat merakyat atau egaliter. Kisah berikut mungkin bisa menggambarkan sosok egaliter seorang Gandjar Wiranegara.
Sebagai stafnya, suatu ketika saya membuat janji akan menghadap pada pukul 10.00 melalui sms! “Oke saya tunggu,” jawabnya. Tapi entah karena terlena atau apa, saya lupa dengan janji yang saya buat. Saya masih asyik bekerja ketika kemudian tiba-tiba pintu ruang kerja saya terbuka dan muncul sosok Gandjar, panglima saya! Saya kaget dan langsung respek memberi hormat patah-patah.
“Kapen gimana sih, katanya jam 10 mau ngadep saya tunggu-tunggu sampai sekarang sudah jam 11 kok gak nongol-nongol. Ya udah, saya aja yang ngadep Kapen sekarang!” ujarnya dengan polos tanpa beban bahkan dengan airmuka cerah dan ramah. Masya Allah! Saya malu tapi sekaligus kagum dengan boss saya satu ini.
Sepanjang karir saya 18 tahun mengabdi di TNI AU, baru kali ini menemukan pemimpin yang rendah hati dengan kadar “sangat ekstrim” seperti itu. Bagaimana mungkin seorang panglima berbintang dua mau bersusah-susah keluar ruang kerjanya di lantai dua untuk menemui seorang letkol marjinal seperti saya di lantai dasar? Dengan memakai terma “ngadep” (= "menghadap", meski guyon) yang harusnya berlaku bagi yunior kepada senior? Bukankah ia bisa memerintahkan staf pribadinya menelpon saya untuk menghadapnya dan kemudian memarahi saya (karena melupakan janji)?
Mendatangi ruang kerja saya (yang jauh lebih jelek ketimbang ruang kerja seorang Panglima), bahkan tak dapat saya hitung lagi saking seringnya. Dan di ruang kerja saya yang sempit dan sesak oleh tumpukan buku itulah kemudian kami mendiskusikan banyak hal. Bahkan tak jarang informasi “konfidensial” untuk konsumsi “para bintang” tak jarang juga ia ceritakan kepada saya. Artinya, ia mempercayai saya.
Perhatian
Masih banyak kebaikan Gandjar Wiranegara yang terlalu sempit diceritakan di sini (insya Allah akan saya tulis dalam sebuah buku). Kebaikan lain dari pria religius yang selalu shalat shubuh ke masjid dengan berjalan kaki atau naik sepeda ini adalah sikapnya yang penuh perhatian terhadap anggota.
Cara memberi perhatian bagi Gandjar tak harus berarti memberi uang, tentu saja. Yang unik dari suami Trihandayani Rahayu ini adalah, ia bisa hafal nama ratusan anak buah dan stafnya. Tak hanya nama, bahkan latar belakang dan “masalah” yang dihadapi oleh masing-masing individu anggota itu, Gandjar tahu dan mengikuti “perkembangan”nya. Sungguh langka menemukan pemimpin yang memiliki perhatian sampai sejauh itu terhadap bawahannya.
Inspirator, Motivator, Promotor
Bagi saya pribadi, terlalu banyak kenangan manis yang terukir dari pertemanan dan hubungan atasan-bawahan antara saya dengan almarhum. Gandjar yang saya kenal adalah sosok pemimpin yang bangga jika melihat bawahannya maju dalam bidangnya, bahkan kemudian ia tanpa canggung ikut “mempromosikan” kemampuan bawahannya itu kepada orang lain. Itulah sebabnya, sebagai bawahan dan sekaligus untuk “mengimbangi”nya, saya selalu sebarkan berita tentang kebaikan dan kemuliaan seorang pemimpin bernama Gandjar Wiranegara kepada siapapun yang saya jumpai. Ia adalah inspirator dan sekaligus motivator bagi saya. Lebih dari itu, beliau juga seorang promotor yang dengan semangat mempromosikan "kelebihan" bawahannya kepada siapapun yang dijumpainya. Sayang, kini ia telah pergi. Selamanya.
Namun, sebagaimana keluarga besarnya yang telah mengikhlaskan kepergiannya menghadap Ilahi Rabbi, saya – dan kita semua – pun harus melepas perjalanan beliau menuju Sang Pencipta. Di alam barzah sana, saya yakin, ia tengah duduk di kursi empuk disinari pelita nan terang oleh amal kebajikannya. Kelak kita akan menyusulnya. Selamat jalan Marsekal…***M Agus Suhadi
Gandjar sebagai inspirator ketika ia mencuatkan ide agar saya menulis buku tentang bagaimana cara menjadi penulis yang gampang. Maka lahirlah buku saya “Kiat SERDADU yang Handal dan Jago MENULIS”, yang sejak tiga tahun silam telah dijadikan sebagai “buku pintar” bagi seluruh perwira TNI AU.
Gandjar sebagai motivator ketika saya gagal ujian seleksi masuk pendidikan Seskoau yang pertama, maka ia mengajak sekaligus menemani saya berlatih lari (sesuatu yang paling menyedihkan bagi saya dan yang menyebabkan saya gagal seleksi). Maka pada periode seleksi berikutnya, alhmdulillah, saya lulus dan lolos.
Lalu Gandjar sebagai promotor, ketika draft buku SERDADU saya selesai maka ia segera bergegas (sendiri tanpa memerintah bawahannya) membawa draft buku saya itu kepada Ketua Umum Inkopau dan bahkan menghadap Kasau (saat itu) Marsekal Djoko Suyanto. Dan dalam hitungan hari draft buku saya disetujui Kasau dan uang langsung dicairkan oleh Ketum Inkopau, dan buku pun segera diproduksi. Wow!
Egaliter
Salah satu kesan kuat yang melekat pada diri pria kelahiran Banjarmasin 10 Juli 1954 itu adalah sikapnya yang sangat merakyat atau egaliter. Kisah berikut mungkin bisa menggambarkan sosok egaliter seorang Gandjar Wiranegara.
Sebagai stafnya, suatu ketika saya membuat janji akan menghadap pada pukul 10.00 melalui sms! “Oke saya tunggu,” jawabnya. Tapi entah karena terlena atau apa, saya lupa dengan janji yang saya buat. Saya masih asyik bekerja ketika kemudian tiba-tiba pintu ruang kerja saya terbuka dan muncul sosok Gandjar, panglima saya! Saya kaget dan langsung respek memberi hormat patah-patah.
“Kapen gimana sih, katanya jam 10 mau ngadep saya tunggu-tunggu sampai sekarang sudah jam 11 kok gak nongol-nongol. Ya udah, saya aja yang ngadep Kapen sekarang!” ujarnya dengan polos tanpa beban bahkan dengan airmuka cerah dan ramah. Masya Allah! Saya malu tapi sekaligus kagum dengan boss saya satu ini.
Sepanjang karir saya 18 tahun mengabdi di TNI AU, baru kali ini menemukan pemimpin yang rendah hati dengan kadar “sangat ekstrim” seperti itu. Bagaimana mungkin seorang panglima berbintang dua mau bersusah-susah keluar ruang kerjanya di lantai dua untuk menemui seorang letkol marjinal seperti saya di lantai dasar? Dengan memakai terma “ngadep” (= "menghadap", meski guyon) yang harusnya berlaku bagi yunior kepada senior? Bukankah ia bisa memerintahkan staf pribadinya menelpon saya untuk menghadapnya dan kemudian memarahi saya (karena melupakan janji)?
Mendatangi ruang kerja saya (yang jauh lebih jelek ketimbang ruang kerja seorang Panglima), bahkan tak dapat saya hitung lagi saking seringnya. Dan di ruang kerja saya yang sempit dan sesak oleh tumpukan buku itulah kemudian kami mendiskusikan banyak hal. Bahkan tak jarang informasi “konfidensial” untuk konsumsi “para bintang” tak jarang juga ia ceritakan kepada saya. Artinya, ia mempercayai saya.
Perhatian
Masih banyak kebaikan Gandjar Wiranegara yang terlalu sempit diceritakan di sini (insya Allah akan saya tulis dalam sebuah buku). Kebaikan lain dari pria religius yang selalu shalat shubuh ke masjid dengan berjalan kaki atau naik sepeda ini adalah sikapnya yang penuh perhatian terhadap anggota.
Cara memberi perhatian bagi Gandjar tak harus berarti memberi uang, tentu saja. Yang unik dari suami Trihandayani Rahayu ini adalah, ia bisa hafal nama ratusan anak buah dan stafnya. Tak hanya nama, bahkan latar belakang dan “masalah” yang dihadapi oleh masing-masing individu anggota itu, Gandjar tahu dan mengikuti “perkembangan”nya. Sungguh langka menemukan pemimpin yang memiliki perhatian sampai sejauh itu terhadap bawahannya.
Inspirator, Motivator, Promotor
Bagi saya pribadi, terlalu banyak kenangan manis yang terukir dari pertemanan dan hubungan atasan-bawahan antara saya dengan almarhum. Gandjar yang saya kenal adalah sosok pemimpin yang bangga jika melihat bawahannya maju dalam bidangnya, bahkan kemudian ia tanpa canggung ikut “mempromosikan” kemampuan bawahannya itu kepada orang lain. Itulah sebabnya, sebagai bawahan dan sekaligus untuk “mengimbangi”nya, saya selalu sebarkan berita tentang kebaikan dan kemuliaan seorang pemimpin bernama Gandjar Wiranegara kepada siapapun yang saya jumpai. Ia adalah inspirator dan sekaligus motivator bagi saya. Lebih dari itu, beliau juga seorang promotor yang dengan semangat mempromosikan "kelebihan" bawahannya kepada siapapun yang dijumpainya. Sayang, kini ia telah pergi. Selamanya.
Namun, sebagaimana keluarga besarnya yang telah mengikhlaskan kepergiannya menghadap Ilahi Rabbi, saya – dan kita semua – pun harus melepas perjalanan beliau menuju Sang Pencipta. Di alam barzah sana, saya yakin, ia tengah duduk di kursi empuk disinari pelita nan terang oleh amal kebajikannya. Kelak kita akan menyusulnya. Selamat jalan Marsekal…***M Agus Suhadi
CAPTION FOTO : Kenangan manis tak terlupakan, penulis melakukan salam komando dengan Marsekal Muda TNI Gandjar Wiranegara saat masih Pangkoopsau I.