Sabtu, 27 Desember 2008

MENGKRITISI LAGU ANAK-ANAK

Lagu anak-anak yang populer ternyata mengandung kesalahan, mengajarkan kerancuan, dan menurunkan motivasi.
.
mari kita buktikan :
.
1. "Balonku ada 5… rupa-rupa warnanya… merah,kuning, kelabu.. merah muda dan biru… meletus balon hijau, dorrrr!!!"
Perhatikan warna-warna kelima balon tsb., kenapa

tiba2 muncul warna hijau ? Jadi jumlah balon sebenarnya ada 6, bukan 5 !
.
2. "Aku seorang kapiten… mempunyai pedang panjang…
kalo berjalan prok..prok.. prok… aku seorang kapiten!"
.
Perhatikan di bait pertama dia cerita tentang pedangnya, tapi di bait kedua dia cerita tentang sepatunya (inkonsistensi) . Harusnya dia tetap konsisten, misal jika ingin cerita tentang sepatunya seharusnya dia bernyanyi: "mempunyai sepatu baja (bukan pedang panjang)... kalo berjalan prok..prok.. prok.." nah, itu baru klop!
.
3. "Bangun tidur ku terus mandi.. tidak lupa menggosok gigi.. habis mandi ku tolong ibu.. membersihkan tempat tidurku.."
Perhatikan setelah habis mandi langsung membersihkan tempat tidur. Lagu ini membuat anak-anak tidak bisa terprogram secara baik dalam menyelesaikan tugasnya dan selalu terburu-buru. Sehabis mandi seharusnya si anak pakai baju dulu dan tidak langsung membersihkan tempat tidur dalam kondisi basah dan telanjang!
.
4. "Naik-naik ke puncak gunung.. tinggi.. tinggi sekali..kiri kanan kulihat saja.. banyak pohon cemara..2X"
Lagu ini dapat membuat anak kecil kehilangan konsentrasi, semangat dan motivasi! Pada awal lagu terkesan semangat akan mendaki gunung yang tinggi tetapi kemudian ternyata setelah melihat jalanan yg tajam mendaki lalu jadi bingung dan gak tau mau ngapain, bisanya cuma noleh ke kiri ke kanan aja, gak maju2!
.
5. "Naik kereta api tut..tut..tut. . siapa hendak turut ke Bandung.. Sby.. bolehlah naik dengan naik percuma..ayo kawanku lekas naik.. keretaku tak berhenti lama"
Nah, yg begini ini yg parah! mengajarkan anak-anak kalo sudah dewasa maunya gratis melulu.
Pantesan PJKA rugi terus! terutama jalur Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya!
.
6. "Di pucuk pohon cempaka.. burung kutilang berbunyi.. bersiul2 sepanjang hari dg tak jemu2.. mengangguk2 sambil bernyanyi tri li li..li..li.. li..li.."
Ini juga menyesatkan dan tidak mengajarkan kepada anak2 akan realita yg sebenarnya. Burung kutilang itu kalo nyanyi bunyinya cuit..cuit.. cuit..! kalo tri li li li li itu bunyi kalo yang nyanyi orang, bukan burung!
.
7. "Pok ame ame.. belalang kupu2.. siang makan nasi,kalo malam minum susu.."
Ini jelas lagu dewasa dan untuk konsumsi anak2!
karena yg disebutkan di atas itu adalah kegiatan orang dewasa, bukan anak kecil. Kalo anak kecil, karena belom boleh maem nasi, jadi gak pagi gak malem ya minum susu!
.
Waktu seminar kesulitan belajar pada anak dikasih contoh lagu nina bobo nina bobo oh nina bobo kalau tidak bobo digigit nyamuk
menurut psikolog: jadi sekian tahun anak2
indonesia diajak tidur dgn lagu yg "mengancam"
.
-Bintang kecil dilangit yg biru…(Bintang khan adanya malem,lah kalo malem bukannya langit item?)

.
-Ibu kita Kartini…harum namanya.(Namanya Kartini atau Harum?)
.
-Pada hari minggu..naik delman istimewa kududuk dimuka.(Nah, gak sopan khan..)
.
Cangkul-cangkul, cangkul yang dalam,menanam jagung dikebun kita…(kalo mau nanam jagung,ngapain dalam-dalam emang mo bikin sumur?)
.
-Potong bebek angsa..Nona minta dansa..(anak kecil koq ngebahas nona dansa,itu urusan bapaknya)
.
-Burung Kakatua..Nenek sudah tua,giginya tinggal dua (dari kecil uda diajarin ngeledek neneknya).
.
-Dua mata saya yg kiri dan kanan..satu mulut saya tidak berhenti makan.(kalo mau mandi atau tidur tetep sambil makan?)
.
Wehehe…t'nyata qt diboongin…

--
Regards,
Sumarhadi LKUN Jakarta
http://www.unas. ac.id

Kamis, 11 Desember 2008

MENYUAP MALAIKAT, MEMBELI SURGA!

Ada banyak koruptor yang rajin bersedekah dan menyantuni anak yatim. Ada artis-artis erotis yang membangun masjid dan pesantren. Inilah fenomena 'membeli surga'

Oleh: Nasrulloh Afandi *

Membeli surga? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan cukup "nge-trend" di negeri kita. Gelombang "simbolis religius" akhir-akhir ini banyak terjadi, khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya. Surga dan malaikat, seolah-olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan mereka.

Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung. Bersedekah dimana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar rumah, dia justru dikenal sebagai pejabat paling korup dan suka me-mark-up dana APBN/APBD.

Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fiqih di majalah Islam, seseorang pembaca bertanya, "Ustadz, sebelum ramai-ramai istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), saya bergelimang uang haram. Bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan pada yayasan yatim piatu?'

Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak sopan di kala Ramadhan. Seorang penyanyi erotis bahkan berjanji mengenakan jilbab bila di panggung selama puasa. Artis-artis lain juga beramai-ramai bersedekah. Meski selesai Ramadhan, kegiatannya mengundang syahwat kembali lebih "gila" dari bulan puasa.
Uang, seolah bisa "menyuap malaikat Rokib", malaikat pencatat amal ibadah. Inilah adalah fenomena "pragmatisme ibadah," yang dilematis bagi Muslimin.

Makelar Surga

Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya "cinta agama," mayoritas - untuk dimaksud tidak semuanya - mereka adalah para "makelar surga" paling berpengaruh. Di depan publik, ia mempromosikan, bahwa surga adalah "komoditas" yang bisa diraih dengan bermodal materi.

Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironinya adalah mengesampingkan esensialitas ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.

Keroposnya akar-akar Islam "di lapangan ibadah," baik vertikal (kepada Allah) maupun horizontal (sesama umat beragama), adalah resiko dominan dari "komoditas surga."
Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk, "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada tidak sama sekali".

Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit rakyat atau artis, tak terkecuali artis bintang porno, yang mempublikasikan diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi "santri" dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan.
Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah" bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin menunjukkan pada publik bahwa, sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena menarik seperti ini jelas jauh dari autentisitas ibadah secara syar'i.

Hak surga dan neraka adalah prerogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, "Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki- Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki- Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali segala sesuatu." (QS 5:18).

Tapi merupakan kesalahan fatal bila ada manusia bermaksud "meng-kaveling surga", hanya dengan mengandalkan seonggok harta. Apalagi, i'tikad dari ibadah itu tetap tidak merubah kebiasaan buruk nyasehari-hari.
Islam adalah agama yang tak bisa dipraktekkan seenaknya. Ada syarat dan rukun dalam ibadah. Dan itu tidaklah berdasarkan karangan akal-akalan.

Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzab fuqoha ahlissunnah waljama'ah (Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi'i) ada kesepakatan bahwa generalitas dalam beribadah selain ada rukun yang dilaksanakan sebelum memulai ibadah, terlebih dulu harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.
Selain ada syarat diwajibankannya (beribadah), utamanya harus memenuhi syarat sah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi sah.

Beragama jelas ada prosedurnya. Bolehkah membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Hasil dari goyang erotis? Jelas tidak. Beribadah jelas ada ketentuannya. Misalnya, meski sama-sama air, tidak boleh mencuci lantai masjid dengan air kencing. Ini sama halnya menyantuni anak yatim dengan uang hasil korupsi.

Dalam Qawa'id al-Fiqh, dikenal "al-Ashlu baqou ma kana a'la makana" (hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit (haram) itu.
Sedekah atau sifat dermawan memang dianjurkan. Namun, dengan harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat (ibadah) tentunya menyebabkan tidak sah.

Sebuah hadis mengatakan, "Dan memang, harta itu, hisabnya (pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal; dari mana (dengan cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan. " (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.).
Karena itu, Nabi pernah menghancurkan masjid dhirar karena karena dianggap dapat memecah belah umat dan menimbulkan keresahan. Jika hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas perbuatan tidak waras. Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud?

Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan konstitusi (syariat) Ilahi?
Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif tauhid adalah termasuk Asy-Syirku al-Asghar (bagian dari penyekutuan kepada Allah SWT).

Efek Samping

Kompleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "nge-trend" terjangkit virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga," yang berujung semakin terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah.

Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki shalat berjamaah ke masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah) gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis ta'lim, namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu.

Inilah kaum hedonis (pemuja harta) yang gede rasa (GR) merasa bisa "membeli surga." Prinsipnya, "Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara (haram) memperoleh hartanya. Toh, harta itu akan mampu "menyuap malaikat sekaligus membeli surga!"

Allah berfirman, "Akan datang suatu hari, yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'araa' : 88-89)

Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi larangan-Nya sesuai orisinilitas syariat itulah sesungguhnya esensi dari kehidupan manusia dan beribadah. Karenanya, yang merasa bisa "menyuap malaikat dan membeli surga," Anda jangan merasa GR!. Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab.

*) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU, sedang "mengasingkan diri" di Universitas Karaouiyine Maroko