Senin, 22 Maret 2010

SULIT MEMULAI MENULIS? COBA CREAWRITER

Tak semua orang, bahkan yang sudah ahli sekali pun, mampu mengawali aktivitas menulis dengan mudah. Suasana hati dan lingkungan sering kali berpengaruh, terutama bagi penulis yang cenderung dikendalikan mood.

Namun, kini paling tidak ada teknologi text editor terutama berbasis open source yang berupaya memahami kebutuhan mood tersebut. Coba tengok aplikasi CreaWriter 1.0.

CreaWriter merupakan suatu aplikasi text editor yang dibuat untuk memberikan kenyamanan dalam kegiatan menulis. Hal ini dihadirkan lewat berbagai fitur, yakni background alam, serta audio yang mendukung. Bahkan, fitur-fitur itu dapat di-setting sesuai kebutuhan pengguna.

Sebagai contoh, anda termasuk pribadi yang gemar dengan pemandangan alam sebagai stimulus mendapat inspirasi, CreaWrite menyediakannya pada fitur configurasi. Pada fitur ini, anda cukup mengklik background lalu folder yang tersedia diisikan file berformat jpg dengan tampilan pemandangan.

Prosesnya mirip seperti anda mengisi gambar background untuk desktop komputer anda. Selain itu, warna latar juga bisa diubah-ubah sesuai kehendak dan prosesnya mirip seperti Word Office.

Bila anda menginginkan stimulus inspirasi berupa lagu, anda kembali ke fitur konfigurasi dan klik bagian sound. Prosesnya mirip seperti background. Sayangnya, khusus fitur ini hanya bisa memuat satu lagu saja.

Ini artinya, sekalipun tulisan anda panjang, creawriter hanya menyediakan satu lagu saja. Bila anda niat, gunakan aplikasi pemotong lagu dan gabung-gabungkan potongan lagu lalu masukan ke dalam CreaWriter.

Kekuarangan lain variasi font (huruf) pada CreaWriter bisa dibilang terbatas. Dengan begitu, bagi penulis yang memiliki font favorit bisa kecewa. Secara keseluruhan, aplikasi ini cukup menarik untuk dicoba. Barang kali benar-benar menghadirkan inspirasi bagi anda yang senang menulis.***

REPUBLIKA, Senin, 22 Maret 2010, 11:52 WIB

Rabu, 10 Maret 2010

MENULIS BUKU

Seorang teman mengeluhkan tentang masih rendahnya jumlah buku yang terbit pada setiap tahunnya di Indonesia. Dia tidak menyebut data, berapa setiap tahun buku baru yang berhasil diterbitkan. Selain itu dia juga tidak membandingkan jumlah buku yang terbit di negara-negara lain, sehingga kelihatan bahwa memang buku yang terbit di negeri ini betul-betul masih rendah, sehingga perlu dipacu lebih keras lagi.

Teman tersebut hanya mengatakan bahwa pada setiap pergi ke toko buku, mencari buku baru ternyata tidak mudah menemukannya. Kenyataan itu ia rasakan sebagai sesuatu yang aneh, apalagi jika dibandingkan dengan perguruan tinggi yang jumlahnya sedemikian banyak. Ia membayangkan bahwa jika setiap dosen, misalnya pada setiap tahun menulis sebuah buku saja, maka jumlah buku yang terbit akan sedemikian banyak. Karena jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, tentu akan diikuti oleh jumlah dosennya.

Menulis buku bagi dosen semestinya merupakan kewajiban. Sebab selain digunakan sebagai bahan kuliah, juga diperlukan sebagai bahan kenaikan jabatan akademik. Seorang dosen tidak akan naik jabatan akademiknya, jika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi persyaratan. Di antaranya itu adalah buku-buku karya ilmiah, baik berupa laporan hasil penelitian maupun buku teks yang ditulisnya.

Atas dasar prosedur dan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu memang seharusnya seorang dosen selalu menulis. Jika setiap dua tahun misalnya, diharapkan setidak-tidaknya seorang dosen menghasilkan sebuah buku adalah bukan berlebih-lebihan. Dosen setiap dua tahun sekali berhak naik jabatan akademiknya, asalkan yang bersangkutan memenuhi persyaratannya itu. Sehingga, tuntutan agar dosen selalu menulis adalah wajar, dan bahkan seharusnya, apalagi jika dikaitkan dengan persyaratan kenaikan jabatan akademik itu.

Hanya menjadi terasa aneh, tatkala melihat jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak, dan tentu jumlah dosennya juga sedemikian besar, tetapi karya-karya ilmiah yang diterbitkan masih terasa sedikit. Saya pernah mendapat informasi dari salah seorang yang memiliki wewenang dan mengetahui tentang penerbitan ini. Ia menceritakan, bahwa ada perguruan tinggi yang jumlah dosennya tidak kurang dari 1500 orang, tetapi buku yang berhasil diterbitkan pada setiap tahun dari kampus itu hanya sekitar antara 10 sampai 15 buah.

Informasi itu jika benar memang sangat mengecewakan. Produktivitas dosen, terutama menyangkut karya ilmiah, dengan informasi itu terbukti masih rendah. Hal itu menjadi tidak wajar, jika misalnya kenaikan jabatan akademik para dosen perguruan tinggi dimaksud tetap berlangsung. Semestinya, dengan rendahnya jumlah buku atau karya ilmiah yang berfhasil diterbitkan, akan diikuti oleh rendahnya kenaikan jabatan akademik para dosennya.

Kemampuan menulis bagi para dosen kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sebagai seorang dosen mereka telah lulus S2 dan bahkan S3. Sebagai persyaratan lulus pada jenjang pendidikan itu mereka telah menulis karya ilmiah atas bimbingan dosen pembimbing atau bahkan juga promotor. Karya ilmiah itu telah diuji dan lulus, sehingga hal itu sekaligus menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kemampuan menulis.

Hanya anehnya, mengapa kemudian setelah lulus dan menjadi dosen mereka kurang produktif. Padahal tugas mereka sehari-hari sebagai seorang pengajar di perguruan tinggi adalah selalu terkait dengan tulis menulis. Jika benar bahwa produktivitas buku setiap tahunnya masih rendah, padahal jumlah perguruan tinggi sedemikian banyak, maka sesungguhnya ada sesuatu yang masih perlu dicarikan solusinya. Apakah rendahnya produktivitas penulisan buku di kalangan perguruan tinggi itu disebabkan oleh biaya, tidak ada semangat atau motivasi, merasa tidak ada tuntutan, atau memang belum lahir budaya menulis.

Apapun jawabannya, kegiatan tulis menulis di kalangan perguruan tinggi harus digalakkan. Sebab tatkala orang menilai tingkat kemajuan budaya suatu bangsa, maka akan melihat seberapa banyak karya ilmiah atau buku yang berhasil ditulis pada setiap tahunnya. Memang terdengar aneh, jika perguruan tinggi sedemikian banyak, tetapi jumlah buku atau karya ilmiah yang dihasilkan masih terbatas.

Semestinya harus dipahami bahwa produk perguruan tinggi bukan hanya berupa banyaknya lulusan yang setiap tahun diwisuda, melainkan juga karya ilmiah yang dihasilkan oleh para dosennya. Jika hasil penelitian dan karya ilmiah atau buku-buku yang berhasil ditulis dan diterbitkan setiap tahun masih terbatas jumlahnya, bisa saja orang kemudian mengatakan bahwa, perguruan tinggi di negeri ini masih bisa disebut, bagaikan terlalu banyak tanaman tetapi buahnya masih kurang. Wallahu a’lam.

sumber: http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1180:menulis-buku&catid=25:artikel-rektor