Rabu, 27 Januari 2010

PAMONG

28 Februari 2009, hari ini, adalah hari yang biasa saja. Kamis, setelah hari Rabu kemarin. Matahari pun sama masih terbit dari Timur dengan matahari yang sama. Tetapi bagi Indonesia menjadi begitu berbeda, luar biasa, sangat penting, istimewa, ketika hari ini dilebelkan dengan kata seratus. 100 menjadi angka yang sangat sensitif yang merubah makna hari ini. Seratus menjadi bukanlah hanya susunan angka yang teridiri atas angka satu yang diikuti dua angka nol di belakangnya. Tetapi menjadi sebuah samudera yang sangat terbuka luas dan dalam berpalung-palung di bawahnya. Di atasnya angin berhembus begitu kencang, sehingga ombak bergelora berdebur-debur. Sementara di bawahnya sangat dingin dengan arus liar yang sangat deras. Memang Indonesia merupakan negara kesatuan dengan laut yang menyatukan pulau-pulau di dalamnya. Seratus menjadi sebuah pesan yang sarat makna. Celoteh camar-camar yang terbang merendah lalu menjaun, untuk nanti datang kembali dengan pesan yang belum termaknai.

Dalam dollar, 100 adalah pecahan terbesar. Dalam rupiah, 100 adalah pecahan terkecil. Dunia ini memang penuh angka. Tapi angka-angka itu akan berbeda di setiap pasang mata manusia yang memandangnya (simplyiyo.com). Pembedanya adalah satuan yang melekatinya. Apa yang melekat dengan si seratus itulah yang membuatnya menjadi sedemikian adanya. Selanjutnya simplyiyo.com, menuliskan “Seorang jenius bukanlah orang yang bisa menguasai banyak sekali hal dengan sedikit-sedikit, tapi merupakan seseorang yang memiliki cukup satu atau dua bidang yang ia tekuni. Dan bidang itu ia kuasai seluruhnya, serta ia bisa berprestasi di dalamnya.” Kefokusan merupakan esensi yang aplikatif kemanfaatan dari seseorang. Seseorang yang berdiri lalu melangkah mengarah walau harus berdarah-darah. Hidup adalah darah. Darah adalah hidup. Melingkupi sekejur tubuh. Utuh. Menyeluruh. Menyelaras semesta.

Aku tidak paham apa yang terjadi hari ini. Terlalu miskin pikiran ini untuk mengerti. Namun jika ini tentang keindonesiaan, aku teringat apa yang sempat kubaca dalam sebuah buku karya Prof Dr. Komarudin Hidayat yang berjudul Memaknai Jejak-jejak Kehidupan, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2009. Buku kecil yang menarik untukku. Pak Rektor UIN ini menuliskan bahwa perilaku sosial bangsa ini tidak lagi memiliki parameter yang jelas untuk membedakan antara yang benar dan salah, jujur dan bohong, pejuang dan pecundang, pelayan rakyat dan pemeras rakyat, dan seterusnya. Nilai-nilai luhur sebagai parameter bangsa dan masyarakat inilah yang semakin sirna dan harus kita temukan kembali. Demikian cuplikan dari salah satu tulisannya yang berjudul Menemukan Kembali Indonesia, yang merupakan judul pertamanya dalam buku tersebut. Komarudin menutup paragraf terakhirnya dengan menuliskan: Saya sendiri belum tahu dan belum melihat tanda-tanda, skenario besar apakah yang akan disiapkan Pemerintah agar optimisme, harapan, dan kerinduan untuk bangkit itu nantinya akan menggumpalkan dan menggelora bagaikan tsunami kebangkitan bangsa yang sanggup meruntuhkan tembok-tembok pelindung para koruptor serta politsi yang berperilaku sok pejuang dan pembela rakyat. Padahal mereka tak lebih sebagai pembajak instrumen dan fasilitas Negara untuk kepentingan diri.

Indonesia adalah garuda yang terbang di langit nusantara, di atas tanah dan air Sabang sampai Merauke. Dilukis grafis, bahkan terlalu manis hingga hinggap di kaos Armani. Memerahputihkan tulisan ini, aku menutup dengan mengutip Sajak Merah Putih dalam buku Sesobek Buku Harian Indonesia Empat Kumpulan Sajak karya Emha Ainun Nadjib, terbitan PT Bentang Intervisi Utama, cetakan Mei 1993. Sajak? Benar karena aku tak bisa bersajak walau sejenak. Juga karena menurut Mustofa W Hasyim, sang penyunting bukunya, sesungguhnya bukan hanya suara Emha secara pribadi yang akan bergema, tetapi juga suara hati nurani sebuah jaman. Sebab penyair, di mana pun, adalah hati nurani jaman, yang senantiasa bergerak dan tidak menyerah.

Sajak Merah Putih. Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami pekerjakan. Kami yang berwenang memilih dan menobatkan kalian serta kami pula yang berhak menyuruh kalian turun dari singgasana. Jangan bilang diri kalian penguasa sebab pada kamilah tergenggam kekuasaan yang dititipkan oleh Tuhan sang pengelola agung. Jangan sebut diri kalian pemimpin karena kalian hanyalah petugas dari kepemimpinan kami atas tanah dan air negeri ini.

Kalian para pamong negeri adalah kaki tangan yang kami bela dan kasihi. Selalu kami bersihkan debu setan di balik kuku-kuku kalian yang akan kami potong kalau terlalu panjang. Jika ada siapa pun yang hendak menghilangkan satu jari saja pun, kami akan bergolak. Sebab kalian para pamong negeri adalah kaki yang kokoh oleh kiriman darah dari jantung kami. Sebab kalian para pamong negeri adalah tangan yang kami tanami keterampilan dan kejujuran.

Kalian para guru bangsa adalah kepala yang akan membuat kami marah jika ada secercah penghinaan saja pun coba menusuknya. Kalian para cerdik cendekia adalah gumpalan otak yang setiap kali kami cuci di kolam kasih sayang. Kalian para alim ulama adalah hati sanubari yang kami peluk cium sepanjang zaman karena ketidaksanggupan kalian untuk berbohong. Dan kalian para penoreh keindahan adalah bola mata kami yang setia mengantarkan sejarah ke cakrawala.***

Dari : Agus Faizal (afz on web)

Minggu, 17 Januari 2010

LARUT

Materi obrolan di forum tetangga semakin seru dan menderu-deru. Ada tentang gerhana matahari cincin. Lalu merambat ke reality shows layar televisi di istana penjara Pondok Bambu, hingga Century Gate yang semakin mengeras. Liar menjalar. Merambahlah ke belantara dunia warna-warni Fesbuk. Ada yang menjaga jarak, hati-hati banyak kasus lho. Begitu katanya. Hingga ada yang mengatakan bahwa nggak semua informasi itu adalah kebenaran. Hah… bapak-bapak juga kalau sudah ngumpul bawel juga. Bawel memang unisex, tidak punya genre ataupun status. Tetapi muncul bagai turunnya hujan ketika kesamaan sosial mengapung ke permukaan. Maka penimpalan mengembang bukan basa-basi. Yang sekarang sudah jadi go a head. Tapi bisa-bisa sampai masuk angin. Ehem!

Salah satu di antara peserta forum, tiba-tiba mengatakan kalau dirinya skeptis terhadap segala macam hal. Dialah sang peragu. Meragukan segala hal. Baginya, saya tidak tahu adalah dianggap sudah menjadi ketentuan pengetahuan dan nasib manusia. Menurut pandangan skeptisme, manusia tidak mungkin dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Aku terperangah dengan mulut sedikit menganga. Kalimat yang terlalu serius untuk sebuah bla-bla-bla bertetangga. Tapi pernyataan itu merayap diam-diam di dinding pemikiran. Penampakannya mengganggu konsentrasi hingga membuat kesadaran tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Terus terngiang, membayang samar memetakan kata skeptis yang berkilatan di malam yang semakin larut walau sudah berselimut. Meragukan kepenasaranan.

Gelitik yang terselip itu merubah tanda tanya menjadi energi kinetik. Mencuri waktu, besok malamnya aku pun googling. Berbahagialah, karena apa yang aku rasakan adalah hal yang lumrah. Walau aku belum sepenuhnya percaya. Buktinya Divan Semesta menceritakan pengalaman pribadinya yang mirip sekali denganku. Diapun menuliskannya panjang dan detail. Berikut adalah nukilan hasil pendalamannya yang begitu menggairahkan di openmindmagz.com.

Skeptis adalah fundamen terpenting dan terbaik dalam melakukan penjagaan diri kita. Skeptis adalah sebuah penetapan diri kita sebagai otonomi penuh sebuah ruh dan tubuh! Skeptis adalah sebuah tali besi yang akan menjaga kita untuk tidak dibohongi karena dibohongi itu tidak enak, dan sebaliknya jika kita skeptis, akan ada banyak hikmah yang bakal kita dapatkan. Jika kita skeptis maka kita bakal mempertimbangkan segala badai informasi yang berusaha menembus keyakinan diri. Skeptis adalah sebuah benteng pelindung paling tebal terhadap segala macam bentuk doktrinasi, saat orang lain mengangguk-angguk di hadapan hegemoni kata, yang membantu melapisi keanehan dan ketidak rasionalan sebuah pemikiran. Skeptis adalah sikap yang menempatkan keadilan di atas solidaritas semu persahabatan dan kekeluargaan. Ia akan mengkondisikan diri kita untuk tidak memberikan seratus persen kepercayaan kepada manusia manapun, bahkan pada orang yang terdekat dengan diri kita. Ketidakpercayaan itu akan menjaga kita untuk menyamakan porsi keadilan di hadapan sebuah kasus, yang melibatkan orang yang baru kita kenal dengan sahabat dan keluarga yang mencintai kita. Sikap skeptis seperti itulah, yang akan menjaga kita dari kejahatan terhadap kepercayaan mutlak kepada manusia. Sikap skeptis seperti itulah yang akan membentuk diri menjadi individu yang memiliki kekuatan fikir dan mental, mengembalikan kepercayaan diri untuk meludahi dan menggergaji segala macam bentuk doktrinasi dan hegemoni. Menghancurkan perbudakan manusia terhadap manusia lainnya, untuk kemudian mengembalikan kepatuhan kita kepada Rasul dan penghambaan diri kita kepada Tuhan Semesta.

Sementara itu, parapemikir.com dalam artikelnya tentang skeptis mengatakan bahwa sesungguhnya manusia dalam beberapa hal mampu mengetahui hakikat kebenaran itu 100% dan dalam hal lainnya tidak akan mampu mengetahuinya.

Akhir pekan larut diaduk malam dingin, setelah sore disemprot hujan. Basah masih menggenang di tanah. Mata masih sulit terpejam sampai keyboard ini mengalirkan kata. Seperti kata parapemikir.com, kita tidak bisa mempercayai panca indra dan rasio untuk dijadikan sandaran pengetahuan, karenanya kita tidak mempunyai sandaran maka secara otomatis kita sebagai manusia tidak mungkin bisa mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti. Kembali, saya tidak tahu adalah sudah menjadi ketentuan nasib manusia.

Aku mengalami pelainan diri. Kata-kata yang terguncang. Terasa sangat jelas. Seperti gelapnya malam. Larut.***

by: Afz on Web

Minggu, 10 Januari 2010

BAHAGIA SELAMA HIDUP?

Ada seseorang yang selalu resah dan gelisah dalam hidupnya menemui seorang bijak dan berkata:"Guru, saya tidak pernah mendapatkan KEBAHAGIAAN dalam hidupku....Tolong ajarkan saya agar HIDUPKU SELALU BAHAGIA!"

Orang bijak itu menjawab:
"Kebahagiaan itu sebenarnya tidak perlu kau cari....Kebahagiaan itu ada pada dirimu sendiri. Tapi kamu dapat belajar untuk menemukannya"

"Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?"

Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab,
"Kira-kira sepuluh tahun."

Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut,
"Begitu lama?" tanyanya tak percaya.

"Tidak," kata si orang bijak,"Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun."

Anak muda itu bertambah bingung.
"Mengapa Guru lipatkan dua?" tanyanya keheranan.

Orang bijak kemudian berkata,
"Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan waktu 30 tahun."

Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca cerita di atas?
Tahukah kita mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya,
semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?

Lantas,
bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?

Sebagaimana yang telah banyak disampaikan,
kebahagiaan hanya akan dicapai
kalau kita mau melakukan perjalanan KE DALAM.

Namun,
itu semua tidak dapat kita peroleh dengan cuma-cuma.
Kita harus mau MEMBAYAR HARGANYA.

Agar lebih mudah kita gunakan analogi sebuah toko.
Nama toko itu adalah "TOKO KEBAHAGIAAN"

Di sana tidak ada barang yang bernama "Kebahagiaan" karena
"Kebahagiaan" itu sendiri TIDAK DIJUAL.

Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: KESABARAN, KEIKHLASAN, RASA SYUKUR, KASIH SAYANG, KEJUJURAN, KEPASRAHAN KEPADA TUHAN dan RELA MEMAAFKAN.

Inilah "barang-barang" yang kita perlukan untuk mencapai kebahagiaan.

Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi.
Yang dijual di sini adalah BENIH.

Jadi, kalau kita tertarik untuk Membeli "Kesabaran" kita hanya bisa mendapatkan "Benih Kesabaran".

Karena itu, segera setelah kita pulang ke rumah kita harus berusaha keras untuk menumbuhkan dan memelihara benih tersebut sampai ia menghasilkan BUAH KESABARAN.

Setiap benih yang kita beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus kita pecahkan. Hanya bila kita MAMPU memecahkan persoalan tersebut, kita akan menuai buahnya.

Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya.
"Kesabaran Tingkat 1", misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas atau
pengemudi bus yang ugal-ugalan.

"Tingkat 2" berarti menghadapi orang yang sewenang-wenang atau
orang yang suka memfitnah..

"Kesabaran Tingkat 3",misalnya, adalah menghadapi keluarga kita yang sendiri. Seperti menghadapi istri yang cerewet atau suami yang nyebelin, malas dan kurang perhatian

Produk yang lain misalnya "BERSYUKUR"
"Bersyukur Tingkat 1" adalah bersyukur di kala SENANG siap bersedekah kala kantong tebal, sementara "Bersyukur Tingkat 2" adalah bersyukur di kala SUSAH sedang defisitpun tetap bersedekah.

"KEJUJURAN Tingkat 1", misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara
"Kejujuran Tingkat 2" adalah kejujuran dalam kondisi TERANCAM.

Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di "Toko Kebahagiaan".

Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan KUALITAS KARAKTER yang ditimbulkannya.

Yang TERMAHAL ternyata adalah "KESABARAN" karena kesabaran ini merupakan Bahan Baku dari segala macam produk yang dijual di sana.

Seorang filsuf pernah mengatakan,
"Apa yang Kita Peroleh dengan TERLALU MUDAH PASTI KURANG kita HARGAI. Hanya harga yang MAHAL-lah yang memberi NILAI kepada SEGALANYA. Tuhan tahu bagaimana MEMASANG harga yang tepat pada barang-barangnya."

Maka ketika kita menyambut setiap masalah dengan penuh KEGEMBIRAAN akan memperoleh "OBAT dan VITAMIN" yang terkandung disetap masalah yang terjadi.

Dengan demikian kita akan BERTERIMA KASIH kepada orang-orang yang telah Menyusahkan kita karena mereka memang "diutus" untuk membantu Kita.

Pengemudi yang ugal-ugalan, orang yang jahat, orang yang sewenang-wenang adalah peluang untuk MEMBENTUK kesabaran.

Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk MENUMBUHKAN RASA SYUKUR.

Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk MENUMBUHKAN KONSENTRASI.

Bertemu dengan orang-orang yang TAK TAHU BERTERIMA KASIH adalah
peluang untuk menumbuhkan PERASAAN KASIH tanpa syarat.

Orang-orang yang MENYAKITI kita adalah peluang untuk MENUMBUHKAN kualitas RELA MEMAAFKAN.

Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:

"Aku memohon kekuatan dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku KUAT.

Aku memohon kebijaksanaan dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan.

Aku memohon kemakmuran dan Tuhan memberiku TUBUH dan OTAK untuk bekerja.

Aku memohon keberanian dan Tuhan memberiku berbagai BAHAYA untuk aku atasi.

Aku memohon cinta dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku bantu.

Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan.

Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan,
tetapi Aku MENDAPATKAN apapun yang aku BUTUHKAN."

Allah SWT berfirman bahwa kita semua dilarang merasa terhina tidak boleh pula terus menerus larut dalam kesedihan karena kita adalah orang-orang yang akan senantiasa ditinggikan derajatnya jika kita adalah orang-orang yang senantiasa menjaga keimanan kita (Walaa tahunuu walaa tahzanuu wa antumul a’launa in kuntum mu’miniin).***